Rindu yang Membawamu pada Nasionalisme


https://cdn1-a.production.liputan6.static6.com/medias/1330005/big/065484300_1472292925-tni7.jpg


            Tengah kekhawatiran lunturnya marwah Sastra Indonesia, para pejuang sastra tak henti-henti berkreasi dan mencari inovasi untuk merawat masa depan Sastra Indonesia. Beragam upaya terus dilakukan hingga sampai pada titik kejenuhan. Disandera kelelahan, kegusaran, sebelum tiba pada sebuah “kerinduan” akan munculnya sosok semacam Chairil Anwar, Rendra, Budi Darma, Utuy Tatang Sontani, Pramoedya Ananta Toer, hingga Eka Kurniawan dalam mimbar Sastra Indonesia saat ini. 

        Perkataan “rindu” begitu sering kita dengar. Bisa dikatakan rindu merupakan hasil dari kelelahan seorang pengembara, orang-orang yang adu jotos, sepasang kekasih yang terpisah, ataupun para prajurit yang lelah dan bosan karena terus berperang.  Suasana itu membawa kita pada kenyataan adanya dua kutub yang berlawanan, yang saling tak sepaham pada awalnya. Bagai Barat dan Timur, Bumi dan Langit, bahkan Tionghoa-Indonesia yang sempat memanas beberapa pekan terakhir.  

            Begitu uniknya persoalan “rindu”, membuat pengarang tak henti mengeskplorasi kosa kata ini. Salah satunya disuarakan penulis muda, Ario Sasongko dalam novel perdananya yang berjudul “Rindu yang Membawamu Pulang” (RYMP), terbitan Gagas Media, 2015. Menariknya, Ario berhasil memberikan perspektif baru dalam memaknai “rindu masa lalu” pada konteks “masa kini”. Bagaimanapun manusia berselisih, dia akan sampai pada titik kenangan yang indah, bahagia, dan mengagumkan. Lunturnya rasa persatuan dan kesatuan dalam tubuh bangsa kita turut dikritik Ario dengan menghadirkan peristiwa masa silam (momentum pergerakan bangsa era 1908-1928). 

            Novel setebal 228 halaman ini terbagi atas 14 bagian yang padu dan rapat, serta menyusun wacana “rindu” yang menarik. Ario dengan jitu membungkus persoalan persatuan dan kesatuan bangsa dalam baju romantisismenya yang khas. 

           Jika Utuy secara eksplisit mengkritik pudarnya persatuan dan kesatuan bangsa melalui tokoh Seniman (Dar) dalam lakon Di Muka Kaca, Ario dengan tokoh ciptaannya menyajikan jiwa realisme yang kuat. Gun, lelaki bumiputera  keturunan Jawa (Semarang) menyuarakan persepsinya terhadap dunia tanpa kekerasan. Perbedaan dalam kesatuan dan kesatuan dalam perbedaan. Dua kutub ini Ario tanamkan pada sosok Gun dan Ling (peranakan Tionghoa yang ayahnya nasionalis Tiongkok tulen). 

            Pertemuan Gun dan Ling menampilkan dua tokoh jajahan Kolonial kala itu dengan prinsip nasionalisme secara inheren. Diawali penglihatan Gun atas Ling di dalam term (kereta) kelas 2, tokoh ini mulai membicarakan sesuatu pada pembaca. Pembaca diajak memaknai perjuangan cinta Gun berbalut realita sosial yang mencengangkan. Penggambaran pengarang di masa pergerakan seperti Budi Oetomo, hingga Sumpah Pemuda 1928 boleh dikatakan cukup berhasil. 

            Penampilan suasana era tersebut ditopang dengan observasi yang matang dari sisi bahasa, kebudayaan, ataupun atribut yang dikenakannya. Meskipun masih terdapat beberapa keganjilan istilah masa kini yang berbaur dengan konteks masa lalu, novel yang terkesan populer ini tetap memberikan sumbangsih terhadap kemajuan sastra Indonesia dengan keluhuran “rindu”  dalam lapangan prosa. 

            Tidak tertutup kemungkinan, jika konsisten akan terlahir sosok pengarang yang tidak hanya mementingkan sisi keromantisannya, tetapi juga realitas yang dibungkus secara matang dengan ruhnya yang kental. Hal ini diupayakan Ario dengan mengusung jiwa nasionalismenya sebagaimana terlihat pada kutipan berikut:
“Apa tujuanmu?” (kata Ling) Tentu saja untuk memajukan bangsaku, yang disebut-sebut bumi putera  itu. Kami  punya hak di atas tanah ini walau hak itu tak bisa diminta begitu saja...kau punya keinginan untuk merdeka? Tentu ada. Indonesia merdeka!” (Sasongko, 2015: 40).

            Selain seorang nasionalis, ada semangat kesetaraan gender yang ingin disuarakan Ario lewat tokoh Ling yang bekerja sebagai guru di sekolah THHK Tiongkok. Ling menyentuh ranah publik yang sangat sulit didapat perempuan pada masanya. Dia berontak ketika hendak dijodohkan ayahnya dengan orang yang dia tidak suka. Dengan tegas dia menolak permintaan Babanya, “Ba, mana yang Baba pikir lebih penting. Nasib Tionghoa di sini atau perkara Ling Kawin atau tidak?” Pertanyaan ini dijawab Baba, “Dua-duanya penting. Tapi, kau ini perempuan, Ling...” 

            Sudut penolakan pada kalimat “...Tapi, kau ini perempuan, Ling” menunjukkan masih belum adilnya perempuan di mata laki-laki. Itu pun kemudian dipertegas Ling dengan jawaban yang dalam: “Setelah kawin, apa? Punya anak? Urus dapur?” (Sasongko, 2015: 61).  Begitulah kiranya nukilan Ario yang ingin mengusung keadilan gender dan kemanusiaan. 

            Hal ini juga tampak ketika ada orang Tionghoa yang merupakan tukang cukur dihakimi massa karena dianggap melakukan kekeliruan dalam pekerjaannya. Dalam titik itu digambarkan bagaimana gesekan masih terjadi antara Bumi Putera dan Tionghoa akibat politik etis yang dilancarkan Belanda, yang mendoktrin Bumi Putera untuk menganggap rendah orang Tionghoa. Di sisi lain, orang-orang Tionghoa terus berupaya untuk sejajar dengan orang Jepang dan Belanda.

            Persoalan itu diramu Ario dengan proporsional disertai romantisisme Ling dengan Gun dan penggambaran perjuangan keduanya untuk memajukan bangsanya, sebelum akhirnya mendapatkan hasil yang diidamkan setelah melewati cobaan yang berat. Patut kita apresiasi keberanian Ario dalam novel pertamanya ini, yang penulis kira mampu memberikan wacana etnis Tionghoa-Bumiputera dalam kacamata lebih populer, tetapi dengan makna yang mendalam, yang sesuai dengan cakrawala harapan pembaca. Dapat dikatakan Ario merupakan sosok penulis realisme-romantik yang sedang meniti karir menuju gerbang masa depan yang cerah.


Editor : Sindi V.


Iwan Ridwan - bergiat di Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) UPI. Tulisannya pernah termuat di Analisa, Fajar Sumatera, Koran Madura, Koran Merapi, Koran Sindo, Majalah Sastra Tarebung, Media Indonesia, Padang Ekspres, Riau Pos, Suara Karya, Warta Kota.






Share on Google Plus

About Unknown

0 komentar:

Posting Komentar