Sejarah

 Karya : Putu Wijaya

 sejarah-ilustrasi-jeihan-sukmantoro

1.
Ceritakan padaku apa yang terjadi sebelum aku lahir. Aku ingin berenang, tenggelam dalam sejarah. Agar aku tahu arah yang benar dalam meneruskan langkah.

Sejarahku mentok, berhenti sebelum aku lahir. Jadi biar pun sejarahku ngelotok, sampai tahu berapa ekor nyamuk sudah terbunuh dalam kamar ini, aku tetap saja buta ke masa lalu. Maka terus-terang sejarahku tidak afdol. Dan itu membuat panca inderaku cacat. Timpang.

Mataku, kupingku, mulutku, alat peraba, penciuman, terutama perasaanku tidak komplit. Semua yang tertangkap jadi tidak bulat, lengkap, tuntas, tapi hanya sebagian-sebagian. Bahkan celakanya, tak jelas, itu sebagian besar atau sebagian kecil?

Karena itu tolong las bolong-bolongku! Tambal, sulam, supaya air yang kuciduk tidak berceceran dan akhirnya sudah capek-capek turun ke lembah, mendaki bukit bawa air untuk menyirami tanaman di kebun, sampai di rumah emberku kosong. Semua akan marah. Aku bisa frustrasi dan seluruh tanamanku terancam mati.

Jadi ayolah, ceritakan sejarah yang lengkap, jangan ada yang ketinggalan. Jangan ada yang ditutup-tutupi. Sejarah bukan cerita fiksi untuk menobatkan seorang pelaku jadi pahlawan. Juga bukan sebaliknya! Sejarah bukan tuduhan jaksa untuk menyeret seorang bandit narkoba ke vonis pidana mati.

Sejarah biarkan jadi sejarah saja. Jangan diubah, direnovasi, dipugar atau dimanfaatkan untuk keperluan lain. Biarkan sejarah tetap bagai bianglala peristiwa, prisma berwarna Newton, supaya jadi cermin putih yang mampu menampilkan bayangan semua orang dengan jujur tak memihak.
Ayo cepat, jangan tunda-tunda lagi! Tuturkan sejarah selengkapnya dengan sederhana, apa adanya. Jangan didandani dengan emosi. Jangan meniru gaya para pembawa berita di TV swasta yang sudah membawakan berita yang ditulis menurut kemauan pemilik TV dan dibaca dengan ironi yang sudah dipesan untuk kemenangan kompetisi politik.

Paparkan saja sejarah seadanya. Biarkan pahit tetap pahit, manis terus manis, lepas saja apa adanya. Tak perlu dikomentari, jangan dipandu dengan interpretasi.

Sejarah bukan orang jompo, bukan orang stroke, bukan tunanetra yang harus dibantu perawat. Sejarah akan bergerak menurut kodratnya sendiri. Tak perlu ditata dulu jadi puisi supaya menggigit. Atau dibalut pesan moral supaya beriman. Karena itu bukan nantinya mencuci tapi melumpuhkan saraf.

Silakan mulai, mulai saja tuturkan tanpa seremoni. Biarlah sekarang aku diguyurnya, sebelum keadaan parah, sebelum, sebelum, ya, ya mulai saja, mulai saja begitu, aku dengar sembari aku mulai tidur, grrrrrr grrrr grrrrr, grrrrr gerrrr….

2.
Adikku, waktu kau lahir, aku juga masih kecil. Aku bisa melihat tapi terbatas. Mendengar juga cuma sepotong. Aku tak bisa menyimpulkan.

Jadi catatan sejarahku, tergantung pada omongan orang. Kalau takut, mata aku pejam, ibulah yang lebih tahu. Sejarahku pun pincang sebatas yang ingin kulihat, yang terpaksa aku dengar.
Aku juga tak percaya kenapa hidup lebih menakutkan dari mimpi. Dikejar setan dalam tidur, aku bisa meloncat bangun dan setannya tak bisa memburu keluar. Tapi dalam kejadian nyata, kalau mau lari, kemana?

Jadi lebih baik kulupakan saja kejadian pagi itu. Kuanggap seperti tak pernah terjadi. Karena aku tak mengerti.

Aku bingung. Bapak yang selalu mengurut kakiku sesudah seharian mengejar capung di lapangan, subuh itu ditarik keluar rumah.

Aku bangun, tapi ibu memegang tanganku, menutup kepalaku dengan selimut. Tapi waktu dia mengintip keluar dari kisi-kisi dinding, aku ikut ngintip.

Lalu kulihat bapak berlutut di halaman. Kakek mengangkat kelewang dan aku tak sadarkan diri. Waktu aku buka mata lagi, aku tak pernah lagi lihat bapak.

Ibu bilang bapak sudah berangkat jauh, terlalu jauh, mungkin tak kembali sampai kamu lahir, besar, dan katanya juga, mungkin sesudah aku dan kamu berkeluarga, kita semua akan menyusul. Kata ibu, bapak akan menunggu di situ.

Kalau belum jelas, tanya Ibu. Tapi hati-hati nanya, nanti dia nangis. Kalau aku nanya lagi, dia pasti marah. Tanyakan kenapa kakek memenggal kepala bapak?

3.
Anakku, kebetulan kamu nanya. Memang Ibu mau bercerita. Tetapi dengarkan saja, jangan menyela, jangan banyak bertanya.

Di dalam kehidupan tidak semua pertanyaan ada jawabannya. Ada yang terpaksa kita biarkan karena jawabannya bertentangan dengan tetangga. Kalau dijawab, kita akan bertengkar. Padahal bagaimana kita hidup tenang kalau tidak rukun dengan tetangga?

Mereka juga begitu. Kita wajib menjaga perasaan masing-masing. Jadi nanti kalau setelah mendengar cerita ini kamu mau bertanya, tanya saja hati kamu. Atau tanya kawan-kawanmu sendiri yang sekiranya akan mau memberikan jawaban.

Jangan bertanya karena ingin menuntut keadilan. Jangan berperkara di masyarakat. Itu tempatnya di pengadilan. Bertanya itu untuk mendengar cerita, jangan menuntut apa-apa.
Sudah bukan zamannya.

Bapakmu sebelum pergi, minta maaf atas kesalahannya. Karena ia lebih memikirkan partai. Lupa kamu yang ada dalam kandungan ibu, adalah juga kewajibannya.

Sebagai bapak aku wajib untuk mengantar anakku tumbuh sampai dewasa, katanya. Sampaikan nanti, kalau dia sudah besar, aku minta maaf, katanya.

Sekarang aku permisi pergi duluan karena aku sudah dijemput. Usahakanlah dengan segala cara asal benar, supaya mereka, maksudnya kamu dan kakakmu, mendapat pendidikan yang baik, sehingga nanti dia bisa mengerti sendiri apa yang sudah terjadi.

Teman-teman lain sudah duluan berangkat. Aku ini yang terakhir. Sebenarnya mereka tidak berniat memberangkatkan aku. Karena mereka tahu, kau sedang mengandung. Tetapi tetangga kita itu, yang pintar cari muka, menunjuk-nunjuk siapa yang harus dijemput, maksudnya supaya dia sendiri tidak dijemput.

Katakan padanya nanti kalau sudah besar, katanya sambil menyentuh perutku, maksudnya kamu, supaya dia belajar saja jadi orang biasa, jangan ikut-ikutan politik.

Sampai di situ, lalu datang bapaknya, kakekmu. Mereka bicara, aku tidak tahu apa yang mereka katakan. Tapi aku lihat keduanya menangis, lalu pelukan. Sesudah itu ibu pingsan.

Jangan percaya omongan orang. Bukan kakekmu yang membunuh bapakmu, itu bohong!

4.
Cucuku, sekarang umurmu sudah cukup untuk bertanya. Hanya aku masih ragu, apa kamu sudah siap untuk mendengar.

Sejatinya mendengar tak selalu menunggu umur atau disiagakan oleh umur. Utamanya dalam mendengar adalah batinmu sendiri terbuka. Hati nuranimu saja yang boleh menjawab.

Tetapi karena usiaku sudah larut senja, aku takut nanti tidak sempat. Nanti kamu bisa terkurung dalam gelap. Terkatung-katung seperti layangan putus. Kesana-kemari dipentalkan angin.

Kamu akan gamang antara yang bilang kakek membunuh bapakmu, anakku sendiri. Atau kakekmu sudah berkomplot menyingkirkan lawan politiknya, bapakmu, anakku sendiri.

Dengar baik-baik, kata demi kata, kalimat demi kalimat. Simak makna seluruh tuturanku, jangan sampai salah tangkap.

Pertama sekali yang perlu kamu ingat, kita adalah keluarga petani. Garapan kita tanah. Milik kita atau milik orang lain, itu tidak membuat kita jadi atau bukan petani.

Kalau kamu hidup dari kerja bertani, kamu petani. Tapi bapakmu tak setuju. Awalnya ia petani yang rajin. Tapi setelah ketemu teman-temannya dari kota, ia berubah.

Ia masuk partai. Kerjanya berunding, rapat tiap malam. Tak mau lagi bertani. Karena sawah yang kita garap punya orang lain. Bangsawan puri di kota. Petani harus punya sawah sendiri, kalau tidak punya bukan petani, katanya.

Sejak itu, ia tidak mau lagi ke sawah. Ia jadi kader pimpinan partai. Ikut bentrokan dengan partai lain. Ibumu dilarang sembahyang tak ada gunanya, katanya.

Ia melarang penggarap-penggarap tanah tunduk pada pemilik tanah. Nanti kalau waktunya sudah tiba, tanahnya akan kita bagi, orangnya kita sembeleh! Revolusi harus memenangkan rakyat jelata, kaum borjuis, feodal, kita bakar!

Bapakmu jadi beringas dan ditakuti. Kakek pun dia musuhi dianggap antek feodal. Dia berani karena Gubernur yang satu partai, mendukungnya.

Desa kita waktu itu kisruh dicekam ketakutan. Warga terbelah. Dalam keluarga ada permusuhan. Orang curiga-mencurigai. Kalau ada yang meninggal tidak lagi saling menyambangi.
Lalu hari yang berdarah itu tiba. Siang jadi malam. Malam jadi siang. Yang dulu ketakutan berbalik jadi menakutkan.

Subuh itu, sejumlah pemuda muncul. Mereka datang baik-baik meminta bapakmu merelakan pergi jauh selamanya. Mereka minta nyawa bapakmu. Bapakmu paham. Aku pun terpaksa paham.

Keadaan pagi itu sungguh aneh. Bapakmu minta jangan orang lain, tapi aku yang harus melakukannya, sebab akulah yang memberinya hidup. Aku tak mampu menerima tugas itu, tapi bapakmu meminta sungguh-sungguh karena ia tidak mau dibunuh tapi diantarkan oleh bapaknya sendiri, aku. Waktu aku ayunkan kelewang itu, aku sedang membunuh diriku sendiri.

Ya, pagi itu, sebenarnya kakek sudah mati. Anak yang bertahun kutunggu, kurawat, kegendong ke mama pun pergi, kududukkan di punggung sapi waktu membajak sawah, harus kuhabisi. Tas.

Bapakmu pergi dengan damai di tanganku yang bukan membunuhnya tapi mengantarnya. Tapi aku tak bisa memaafkan diriku. Begitu banyak yang terjadi di hari-hari itu yang tak akan bisa kita mengerti.

Karena itu menanggapinya dari jauh, seperti sekarang, memerlukan jiwa yang besar. Jangan biarkan peristiwa itu jadi lingkaran setan. Paham? Peristiwa itu jadi sejarah hitam kita bersama.

Aduh, kakek tak kuat lagi. Cerita subuh itu menggelapkan hidup kakek. Semoga kamu bisa menerimanya dengan batin yang bijaksana. Jangan biarkan lingkaran setan itu lebih panjang.

Sekarang berpulang kepadamu. Paham? Aduh ini, kamu bagaimana? Kok grrr, grrr, molor! Bangun! Katanya mau dengar sejarah.

5.
Di dalam kemerdekaan, ternyata masih ada ketidakmerdekaan. Di dalam ketidakmerdekaan ada pembunuhan tanpa peradilan. Apakah betul kita sudah merdeka? Kalau sudah, aku menggugat, adili semua pembunuhan. Termasuk pembunuh bapakku! Seret tangan-tangan kotor. Minta maaf kepadaku, bapakku sudah dieksekusi tanpa peradilan! Bangsa yang tidak tahu sejarah adalah bangsa keblinger! Orang yang tidak peduli sejarah adalah tukang molor dan anarkis yang harus disikat habis!! (*)

Kutipan : Kompas, 25 September 2016
Putu Wijaya lahir di Puri Anom, Tabanan, Bali. Putra ketiga (bungsu) dari pasangan I Gusti Ngurah Raka dan Mekel Erwati. Setelah tamat dari SMAN Singaraja dan Fakultas Hukum UGM, ia pindah ke Jakarta. Pernah menjadi wartawan Tempo, Zaman, dan Warisan Indonesia. Mendirikan Teater Mandiri, menyutradarai film dan sinetron, serta menulis cerpen, esai, novel, dan lakon. Sejak akhir 2012 aktif melukis. Ribuan cerpen dan puluhan novel sudah lahir dari tangan Putu. Beberapa novel dan karya dramanya mendapat penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta.
Share on Google Plus

About Unknown

0 komentar:

Posting Komentar