Karya : Isbedy Stiawan Z.S.
LELAKI itu sudah di gerbang stasiun kereta, saat
petang beranjak. Sesekali ia menggerakkan kepalanya. Menengok ke
belakang. Tak ada sesiapa. Ia ingin ke kota lain. Ransel yang sejak tadi
di punggung, ia pindahkan. Kini dalam jinjingan. Di dalam tas itu;
pakaian, sabun, shampoo, sikat, dan pasta gigi. Juga sebungkus gundah.
Hari-hari terakhir ia memang galau. Entah kenapa. Mungkin dia seorang
yang tahu, tapi tak paham cara menyelesaikannya. Hidup ini misteri.
Seperti salju luruh, kanal kehilangan air. Dan gigil yang tak
sudah-sudah pergi. “Bukan soal cinta kalau aku gundah,” gumam dia.
Perempuan hanya bagai lampu jalan. Terkadang ada dalam gemerlap
sangat, namun kesempatan lain amat pekat. Tetapi, ia tahu bahwa cinta
adalah perkara rumit-rumit gampang.
Iyakah?
Ia lupakan soal cinta, percintaan, bercinta, juga perempuan.
Diumpamakan lampu jalan, kini saatnya biarkan padam. Seperti penerang
jalan biarpun konsumen PLN setiap bulan ditarik pajak, tetap saja
berjutaan lampu jalan tak berguna di malam hari.
“Di jalan layang yang baru diresmikan, lampunya sudah tak berguna.
Hampir berkali-kali terjadi kecelakaan di sana disebabkan jalan yang
gelap. Bahkan, karena di jalan layang itu tiada rambu-rambu maka
pengendara dari bawah atau atas langsung mengambil ruas lain.
Bertabrakan akibatnya,” cerita temannya.
Tadi, sepanjang jalan menuju stasiun ia merasakan udara amat dingin.
Guguran daun bertumpuk di sepanjang trotoar. Merah. Ia menatap seperti
menikmati sebuah lukisan. Begitu estetis namun abstrak. Tetapi kelimunan
dingin membuatnya kian mengetatkan jaket dan sal. Juga kaus kaki, kian
ditinggikan.
Ia ingin mempercepat langkahnya agar segera sampai di stasiun, ingin
merasakan kehangatan di peluk keriuhan penumpang yang datang dan pergi.
Meski akhirnya ia sadar, dalam pelukan dingin rasanya sulit menggegas
pijakan.
Ketika tiba di gerbang stasiun, bagaikan mendapat hadiah tak
ternilai. Ia semringah sejenak. Ia lepas sal, kancing jaket dibuka, dan
topi yang selalu nongkrong di kepalanya juga ia turunkan. Sesekali ia
biarkan rambutnya memandangi perempuan cantik, gumamnya. Biarlah
helai-helai rambutnya seperti jemari jahil menyusuri tubuh perempuan.
Di kota ini, siapa peduli dengan orang lain? Bahkan, jika berada di
sisi kita. Orang-orang sesukanya. Berpelukan. Saling mencium ataupun
menyentuh bibir. Selagi tidak dalam keadaan mabuk, mencuri, ataupun
memukul orang tanpa sebab; pasti polisi meringkus.
Di stasiun ini sudah ramai. Menunggu kereta dari utara menuju barat
tiba. Di lintasan enam, penumpang juga sudah berdiri dekat perlintasan.
Kereta dari barat akan berangkat ke timur. Diam-diam dia menghitung
perlintasan. Ada tujuh lintasan. Seluruhnya aktif.
Ia teringat dengan negerinya. Perkerataapian dikelola kurang bagus.
Jadwal kedatangan atau keberangkatan kerap tak tepat. Itu sebabnya
penyanyi Iwan Fals pernah mengkritik lewat lantunan lagunya. Selain itu
kerap terjadi kecelakaan, yang disebut oleh pihak KAI (kereta api
Indonesia) sebagai human error! Entah dari mana istilah itu
dicomot, seperti asal bicara. Soalnya, kecelakaan apa pun—pesawat udara,
kereta, kapal, kendaraan—selalu menggunakan istilah tersebut.
Padahal, kalau benar perkerataapian di Indonesia merupakan warisan
dari kolonial Belanda, kenapa Indonesia tak bisa mengelola dengan baik
seperti di negara bekas penjajah itu? Jangankan disanding dengan Holand,
dengan Malaysia saja kita kalah.
Ini kenyataan. Ia punya pengalaman saat perjalanan ke Perak Darul
Ridzuan beberapa tahun silam. Dari Kuala Lumpur ia menumpang kereta
menuju Ipoh. Wah, gumamnya, selain perjalanan nyaman juga jadwal selalu
tepat singgah di setiap stasiun. Sehingga prediksi pukul berapa sampai
di stasiun tujuan bisa dibilang tak meleset.
“Soalnya ini Indonesia, Bung! Apa yang becus dikelola oleh pemerintah? Hampir tidak ada, kan?” celoteh kawannya dari Indonesia yang sudah menetap hampir 20 tahun di Rotterdam.
“Indonesia kurang bagus merawat fasilitas,” cetus kawan seniman eksil
di Den Hag karena diktatornya Soeharto akhirnya tak berani pulang ke
tanah air. “Bahkan, mengurus manusianya. Bayangkan, orang-orang kritis
dan tak sehaluan dengan rezim yang berkuasa, selalu dimusuhi dan diburu
untuk dijebloskan di penjara!” imbuhnya.
Dia menyebut sastrawan Pramoedya Ananta Toer yang dikirim ke Pulau
Buru. Juga penyair Sitor Situmorang yang tak memperoleh hak hidup layak
di negeri sendiri, lalu ia memilih tinggal di Apeldoorn, Belanda, hingga
mengembuskan napasnya yang terakhir.
“Di Belanda ini, Sitor sangat rindu tanah air yang tak memberinya hak
hidup. Dia merindukan Toba, tanah kelahirannya. Dan baru setelah ia
tiada dibolehkan pulang. Sungguh menyedihkan,” ujar Barbara [*] suatu kesempatan bertemu.
Perempuan berdarah Belanda itu juga bercerita; saat Sitor masih hidup
tak banyak orang berkunjung ke rumahnya di Jalan Paslaan untuk melihat
suaminya. Saat sakit, kata dia, Afrizal dan istri berkunjung dan
menginap beberapa hari.
“Kini, setelah Sitor tiada, banyak orang ziarah. Entah mengapa,”
lanjut dia sambil mengisap rokok filter dari Indonesia dalam dingin 4
derajat celcius di teras rumahnya.
***
Ah, ia mendesis. Jam dinding di stasiun dilihatnya. Sudah pukul 7
malam, dan 10 menit lagi kereta datang. Saat itu ia akan ucapkan selamat
tinggal Apeldoorn. Kereta menuju barat segera berpacu di rel yang
dingin.
Ia memilih kursi dekat pintu. Seseorang duduk di sebelahnya. Ia
lirik. Perempuan cantik. Rambut pirang kehitam-hitaman, hidung mancung
umumnya orang Eropa. Kulitnya putih tiada bintik-bintik merah, bahkan
sangat halus dan bersih. Dia mengibaratkan, jika tubuh perempuan yang
kini duduk di sampingnya adalah jalan tol, maka mobil yang dibawanya
bagai selancar.
Setiap kali pikirannya nakal, pada saat bersama wajah istrinya
berlabuh. Ia tak bisa menampik kehadiran perempuan yang telah
menghadiahinya anak-anak. Istri yang tahu statusnya sebagai pendamping
dan pendorong suami. Dialah Fitri Angraini. Perempuan yang sejak
dinikahinya selalu memberi support agar karirnya sukses.
“Bagaimana bisa aku melupakanmu?” desisnya.
Lalu ia mengambil mesin pintar dari saku jaket. Ia berselancar di
media sosial. Ia mengirim tulisan tentang hari ini untuk sebuah media online di tanah air. Laporan remeh-temeh tiap hari yang ditulisnya, menurut pengelola media online itu, disukai lebih dua ribu pembaca.
“Makanya, aku berharap sangat jangan kau hentikan y…,” kata pengelola
media itu yang dulu sama-sama berjuang di sebuah surat kabar terbesar
di suatu provinsi.
Sudah 10 menit perjalanan kereta. Matanya mulai layu. Perempuan di
sebalahnya juga terlihat ingin terlelap. Terpejam matanya. Kepala
perempuan itu sedikit berlabuh di pundaknya. Sekejap lagi akan menumpang
di bahunya. Aroma shampoo dan parfum mulai menyapu hidungnya.
Kata banyak orang, orang Eropa lebih suka mandi parfum ketimbang
berbasuh air. Terutama pada musim dingin dan bersalju. Itu sebabnya,
produk pewangi tubuh banyak dibuat di Eropa. Ah, persetan dengan tubuh
parfum!
Sebab, ia membatin, di belahan dunia mana pun daya tarik perempuan
tetap sama. Apakah di Afrika, China, Jepang, Eropa, maupun Indonesia.
Ya! Bergantung selera. Kalau kini ia menyukai penumpang perempuan di
sebelah kursinya, kenapa tidak?
Lelaki itu terjaga seketika. Perempuan di sebelahnya memukul pipinya. Lumayan keras, dan terasa sakit.
“Maaf,” kata perempuan itu dengan bahasa Inggris. Tersenyum sejenak.
Lalu ia bercerita kalau baru saja bermimpi digerayangi lelaki. Celana
panjangnya dipeloroti, lalu dompet dan seluruh barang di tasnya
dirampas.
“Dan, aku yang jadi korban…”
“Maaf. Itu karena mimpi…,” katanya kembali memohon maaf.
“Anda memukul saya dalam mimpi, tapi saya merasakannya sebuah
kenyataan….,” katanya kemudian. Dalam hati ia ingin dialog berlanjut.
“Mungkin mimpi dan fakta sudah sulit dibedakan, ya?” perempuan itu
berujar setelah diam beberapa saat. Ia merenung. “Kadang kita mengira
suatu peristiwa hanya ada dalam mimpi, ternyata adalah fakta. Begitu
sebaliknya, sebuah fakta kita anggap mimpi…”
“Kalau kita berdua di sini, mimpi atau fakta?” kata lelaki itu.
“Semula kuanggap mimpi. Entah kenapa aku memilih kursi di sebelahmu,
saat masih banyak kursi lain yang kosong. Tetapi, aku yakini ini adalah
kenyataan. Aku berada di sebelahmu, memukul pipimu, dan kini mengobrol,”
kata perempuan dari Italia yang bersekolah di Leiden, itu.
Selepas itu, keduanya asyik mengobrol. Ihwal negeri masing-masing.
Diskusi soal kebudayaan, pelanggaran HAM yang kerap digemborkan di
Indonesia. Soal cinta, studi, dan seterusnya.
Tak terasa tiga jam perjalanan di kereta menuju barat. Entah berapa
waktu lagi stasiun terakhir dituju. Tapi, apa penting sampai? Dia
melirik penumpang di sebelahnya yang kini diam. Ia ingin menanyakan
nama.
“Ngomong-ngomong kita belum tahu nama,” tiba-tiba perempuan itu bersuara. “Namaku Annelouisa. Tapi cukup panggil saja Anne.”
“Wow! Tepat sekali harapan orang tuamu dengan memberi namamu itu.
Dalam bahasa Italia berarti ramah. Ternyata kau memang ramah…,”
jawabnya. “Aku Endri Natapraya, tapi sebut saja Endri.”
Anne semringah. Lelaki itu merasa dapat angin. Perjalanan kian
nikmat, tujuan tak lagi penting rasanya. Malam menempel di jendela
kereta. Di luar pekat. Anne kembali mendekat. Endri membiarkan tubuhnya
didekati. Kini bukan lagi dalam mimpi, jika Anne merebahkan kepalanya di
bahu Endri. Sementara jemarinya tetap menari di lantai gadget.
Endri mengabadikan suasana itu. Anne tak kalah merekam ke dalam handphone-nya. Ah, seperti sepasang burung baru bertemu di sebuah pohon.
“Kita seperti sudah lama berkenalan, ya,” goda Endri karena sejak tadi kepala Anne merebah di dadanya.
Anne tersenyum, namun ia bergeming. Semakin ia ketatkan kepalanya di tubuh Endri. Aroma parfum menguar ke hidung lelaki itu.
“Ah, seandainya ini bukan dalam perjalanan… tapi,” Endri mendesah.
“Apa?” Anne bertanya heran. Ia mendengar desahan Endri, meski tak jelas.
“Oh, tidak. Sesampai di stasiun nanti, kau melanjutkan ke mana? Atau di kota itu kau menetap?”
“Ya aku menyewa apartemen. Jika kau tak sibuk dan memang untuk berlibur, rumahku terbuka untukmu,” jawab Anne santai.
“Aku akan menetap dua pekan di kota itu. Tetapi, aku harus ke kedutaan besar dulu untuk melapor dan mengurus lain-lain.”
“Oke kalau begitu, aku tunggu ya. Ini kartu namaku. Kalau aku tak ada
di rumah, boleh telepon aku,” ucap perempuan Italia itu tetap santai.
Fajar kereta masuk stasiun. Sebelum meninggalkan kereta, Anne mencium
pipi Endri tiga kali. “Tradisi orang Belanda jika berciuman tiga kali,”
kata Anne kemudian menjelaskan.
Endri mengangguk. Ia pernah mendapat info ini dari kawannya di
Rotterdam sebulan lalu. Saat itu ia diajak menyaksikan musik jazz di
sebuah kafe. Terjadilah peristiwa seperti ini. Kawannya, ia memanggilnya
Ajo, lalu menjelaskan.
Di depan stasiun, Anne kembali mencium. Kali ini seraya memeluk tubuh
Endri. Lelaki itu pun membalas. “Aku tunggu ya, jangan tak mampir.
Kusiapkan makanan ala Italia,” bisik Anne.
Endri segera mengangguk. Tapi, ia membatin, “Haruskah aku mampir? Akan terjadi apa di apartemen itu? Kematian? Kehangatan?”
***
Lampung, Januari-Maret 2016
[*] Barbara Brouwer (Barbara Purba) adalah istri penyair Sitor
Situmorang. Saya sempat berjumpa dengannya saat berkunjung ke rumah
mendiang Sitor Situmorang di Apeldoon, Belanda, pada 2015. Dialog
Barbara Purba dalam cerpen ini hanya imajinasi saya. Terima kasih
Barbara Purba.
Kutipan : Jawa Pos, 25 September 2016
ISBEDY STIAWAN Z. S., lahir di Tanjungkarang, Lampung, 5 Juni 1958. Kumpulan cerpennya, antara lain, Perempuan Sunyi, Hanya untuk Satu Nama, Dawai Tak Berdenting, Seandainya Kau Jadi Ikan, Perempuan di Rumah Panggung (10 besar buku prosa terbaik Khatulistiwa Literary Award 2014), dan Tumang.
0 komentar:
Posting Komentar