Karya : Sindi Violinda
Aku
terharu mendengar pengakuan blak-blakan Aisyah. Sangat terharu. Bagaimana
tidak? Ia seorang muslimah yang dulu tinggal nomaden di jalanan, tidak punya
rumah, tetapi kini ia bagai budayawan kun anta atas bertahannya kehidupan
orang-orang yang tak lagi mau hidup. “Jadilah dirimu sendiri!”
O0o
Pagi ke malam belakangan di 11 tahun
yang lalu, saat berusia 17 tahun, aku sering menjadi pemandang Aisyah dari atas
balkon. Sudah empat minggu. Terik mentari yang hampir membakar kulit pun telah
menjadi sahabat sejati. Menemaniku dalam memahami arti perjuangan nyata.
Kuketahui namanya Aisyah selepas
mendengar teriak misterius yang membuatku terbangun dari baringan dan sedang
menikmati bunga tidur. Bahkan harumnya saja masih menggenang di angan. Aku
segera berlari menuju balkon, menatap ke arah bawah untuk mencari-cari sumber
teriakan, yang kurang lebih seperti teriak perpisahan ayah kepada anak dan membuming
ke segala arah sekitar. Kuamati trotoar jalanan yang berada pas di depan Mesjid
Raya Medan menggunakan teropong. Di situ, di dekat sebuah becak tanpa atap, tampak
anak perempuan berpakaian kumal sedang malang meratapi nasibnya bersama
teman-temannya yang mungkin anak seorang peminta recehan, atau barangkali
mereka ialah pengamen yang keluar di lampu merah, atau jangan-jangan anak-anak
yang sangat doyan menciumi lem kambing di gedung-gedung tak berpenghuni. Entahlah. Aku enggan turun ke keramaian
itu. Tapi, tangisan malangnya membuatku iba dan segera mendekatinya dengan
membawakan sebingkis permen coklat.
“Ayah … buka, tolong buka mata Ayah,
Yah!” gadis itu memeluk erat pria paruh baya yang sudah tidak lagi bernyawa. Rambut
pria paruh baya itu panjang. Tidak pernah terpangkas sepertinya, bahkan mungkin
tidak terurus. “Ayah, jangan tinggalin Aisyah. Aisyah sendirian, Yah.” Ia
bangkit dan mencoba menggendong ayahnya, si pria paruh baya itu ke atas becak.
Aku pun ikut membantunya. “Ayah, Aisyah sendirian. Aisyah mau hidup dengan
siapa?” ia memandang becak “Ayah, hanya becak ini yang tersisa, hanya becak ini
yang Aisyah punya. Ayah jangan pigi!”
Bingkisan permen cokelat ternyata tidak
manjur sebagai penawar penenang atas kesedihannya. Aku pun segera mendengar
kabarnya dari mulut ke mulut. Aisyah telah berpisah dengan ibunya. Kini usianya
8 tahun, ia tinggal nomaden di becak bersama ayahnya yang sakit komplikasi paru
(sakit sudah 3 tahun). Aisyah sendirian merawat ayahnya. Uangnya habis untuk
biaya obat. Ia pun harus putus sekolah. Satu-satunya barang berharga hanya
becak yang dibeli dengan cara mengangsur. Aisyah sering mengayuh becak dari
satu tempat ke tempat lain. Diusir saat transit di teras rumah warga ataupun saat
transit di Mesjid Raya. Aisyah yang berharap belas kasihan dari orang lain,
malah dianggap gelandangan.
Karena ayahku mendadak dipindahtugaskan
ke Jakarta, aku yang tadinya sering menginap di kamar hotel milik ayah di dekat
Mesjid Raya, terpaksa harus mengikuti jejak ayah. Pindah ke Jakarta, pindah
sekolah. Padahal sudah kelas 3 SMA, dan aku juga melanjutkan kuliah di sana. Hari
itu juga kutinggalkan jejak kesedihan Aisyah. Sejak itu, tak pernah kutahu lagi
bagaimana kabar bocah perempuan 8 tahun yang tinggal sebatang kara itu. Tetapi,
entah sedang kebetulan, kini aku sudah mendapat pekerjaan dan ditempatkan di
Medan, kampung halaman yang sangat kurindukan. Aku sudah kembali menatap
gerak-gerik lalu lintas di bawah trotoar dari atas balkon kamar hotel yang
dulu. Di kamar hotel ayah, yang kunci kamarnya sempat ku-duplicate. Berharap dapat menemukan Aisyah, yang entah apa kabarnya
kini.
Usiaku sudah 26 tahun, pastilah kini
Aisyah berusia 17 tahun. Kuamati sekitaran Mesjid Raya. Kuamati gadis berlalu
lalang yang kira-kira berusia 17 tahun. Tidak ada, tidak ada gadis yang
berpakaian kumal seperti Aisyah. Tidak kutemukan.
“Apakah kamu Aisyah? kutanyakan pada
setiap gadis yang berlalu lalang.
“Bukan!” gadis-gadis itu menjawab
kecut.
“Aku Fadmin, abang-abang yang dulu
memberimu sebingkis permen cokelat. Sewaktu kamu masih 8 tahun dan sedang
menangis di hadapan almarhum ayahmu. Apakah kamu ingat?”
“Ayah saya belum meninggal, Bang!”
Aku putus asa. Pencarian yang
sia-sia. Satu jam aku duduk di halte bagai menunggu bis saja. Kurenungkan
sebuah nasib yang sebenarnya tak perlu kulakukan hanya demi mencari Aisyah. Aku
mau pulang.
“Aku mau pulang.” Tiba-tiba kepalaku
menengadah ke arah remaja laki-laki yang tanggung untuk dewasa. Remaja yang
wajahnya jelek itu menjerit-jerit di atas trotoar depan Mesjid Raya sambil
berteriak-teriak “Aku mau pulang.” Tadinya kupikir teriak itu adalah orang yang
mengetahui kata-kata batinku. Hahaha!
“Pulang ke mana?” orang-orang di sekitar
trotoar meneriakinya. Lalu lintas menjadi macet, sebagian lebih memilih
menonton.
“PULANG, kayak itu, judul novel yang
ditulis Tere Liye. Aku mau PULANG!”
Tiba-tiba dari arah dalam Mesjid Raya,
Gadis berhijab, berkulit putih, sedang membawa telekungnya sambil berlari
dengan sangat tergesa-gesa menuju trotoar. “Mungkin gadis itu kekasihnya,
sedangkan remaja laki-laki itu ingin bunuh diri dari atas trotoar karena
cintanya tidak diterima. Hahaha,” gumamku mengambil kesimpulan. Anak remaja
zaman sekarang edan.
“HEI, KAMU … KAMU JANGAN MALU-MALUIN!”gadis
itu berteriak. Remaja yang mau pulang terperangah, kami semua terperangah pada
si gadis. “Kamu mau pulang? Pulang ke mana? Pulang ke rumahlah, jangan ke
aspal. Itu namanya bunuh diri!”
“Siapa kau? Ya, aku mau bunuh diri, aku
tidak tahan lagi hidup. Aku tidak mau hidup lagi. Keluargaku meninggal semua di
Aceh, kena tsunami. Untuk apa aku
diasuh oleh sahabat ibuku, sedang anak-anak dari sahabat ibuku itu
menngucilkanku. Mereka semua mengejekku, ah, aku benci wajahku ini! Kalau
kalian tidak ingin aku mati, beri saja aku uang untuk operasi plastic dan
setidaknya agar gayaku lebih keren dan up
to date!” perintah remaja lelaki itu spontan membuat para penonton tertawa,
termasuklah aku. Tapi tidak bagi seorang gadis yang berlari tergesa-gesa tadi.
“Saya seorang budayawan kun anta. Jadi,
kamu hanya ingin bunuh diri, maksud saya kamu hanya ingin pulang ke aspal
karena wajah kamu jelek?”
“Iya, dan apa itu kun anta?”
“Bukankah jika pulang ke aspal wajah
kamu akan jadi lebih jelek?” Gadis itu
tidak menjawab pertanyaan si remaja. Remaja diam. Seperti mengiyakan pernyataan
si gadis.
“Hem,” remaja itu memalingkan wajahnya
ke bawah dan seperti sedang mencoba menutupi rasa malu.
“Bagi saya, itu bukanlah alasan. Toh,
masih banyak anak-anak lain yang nasibnya sama sepertimu. Saya dulu juga
sepertimu. Saya berpisah dengan ibu ketika 8 tahun. Saya pernah tinggal nomaden
di becak bersama ayah saya yang sakit. Saya sendirian merawat ayah saya. Semua
uang habis untuk biaya obat. Saya harus putus sekolah. Satu-satunya barang
berharga hanya becak yang dibeli dengan cara mengangsur. Saya sering mengayuh
becak dari satu tempat ke tempat lain. Diusir saat transit di teras rumah warga
ataupun saat transit di Mesjid Raya. Yang paling menyedihkan bagi saya,
ternyata ayah saya juga diambil nyawanya. Saya sendirian. Saya yang berharap
belas kasihan dari orang lain, malah dianggap gelandangan. Tapi saya tetap
percaya diri. Kun anta, menjadi diri saya sendiri. Saya akhirnya diasuh oleh
sebuah keluarga, tapi saya tidak pernah menyesal seperti Anda. Setidaknya saya
bersyukur, saya dapat bertahan lebih lama di bumi yang saya pijak sekarang.”
Gadis itu menangis. Tapi aku sangat kaget, benarkah dia Aisyah?
“Walaupun anak asuh, saya juga ingin
berpakaian ala anak zaman yang up to date. Tapi saya berpikir, hal itu hanya
sebagai penawar agar iman saya layu. Lupa segalanya. Kalau hidupmu ingin lebih
berarti, jadilah dirimu sendiri!” gadis itu lalu pergi, berlari dengan sangat
tergesa-gesa sambil menangis. Aku segera mengejarnya.
Rautnya masih tampak sedang
mengingat sesuatu. Tampak sedang mencoba menutupi kesedihan yang telah lama
terpendam.
“Apakah kamu Aisyah?”
“Ya?”
“Tentu waktu itu banyak sekali pria
berusia 17 tahun sepertiku, sudah lupakan saja.”
Rasanya aneh jika lelaki berusia 26
tahun sepertiku menghampiri gadis remaja berusia 17 tahun. Aku lalu pergi meninggalkan
Aisyah sebelum dicurigai massa.
(Pernah dimuat di Harian Waspada, Minggu, 14 September 2016)
0 komentar:
Posting Komentar